Minggu, 12 Mei 2013

Review Jurnal Hukum Perdata


PENGGUNAAN INDIRECT EVIDENCE (ALAT BUKTI TIDAKLANGSUNG) OLEH KPPU DALAM PROSES PEMBUKTIAN DUGAAN PRAKTIK KARTEL DI INDONESIA (STUDI DI KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA)

Penulis      : Mutia Anggraini
Kata kunci : Kata Kunci: Indirect Evidence/alat bukti tidak langsung, kartel, alat bukti.
http:// hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/01/JURNAL-Mutia-Anggraeni 0910110053.pdf


Abstrak

Pada skripsi ini, penulis mengangkat permasalahan Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktik Kartel di Indonesia. Pilihan tema tersebut dilatar belakangi dari perkembangan isu yang menyatakan bahwa KPPU dalam praktiknya dapat menggunakan satu alat bukti. Alat bukti tersebut, yaitu alat bukti tidak langsung. Perbedaan penggunaan minimal alat bukti dalam hukum acara ini yang membuat penulis tertarik untuk menulis permasalahan
tersebut.Berdasarkan hal tersebut diatas, karya tulis ini mengangkat rumusan masalah:
(1)Bagaimanakah penggunaan Indirect Evidence dalam proses pembuktian menurut
sistem pembuktian di Indonesia?
(2) Bagaimana penggunaan Indirect Evidenceoleh KPPU dalam membuktikan adanya dugaan kartel di Indonesia?
 
Kemudian penulisan karya tulis ini menggunakan metode yuridis empiris atau sociology of law. Penulis menggunakan data yang penulis peroleh dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha baik secara langsung maupun tidak langsung. Data itu berupa wawancara terpimpin, jurnal-jurnal hukum, majalah Kompetisi yang diterbitkan oleh KPPU. Data tersebut kemudian penulis analisis dengan menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Jawaban atas permasalahan yang ada bahwa penggunaan Indirect Evidence/alat bukti tidak langsung dalam proses pembuktian menurut sistem hukum pembuktian di Indonesia dapat digunakan sebagai alat bukti. Kedudukannya sebagai alat bukti tambahan. KPPU perlu mendapatkan alat bukti lainnya untuk memproses permasalahan hingga didapat suatu kesimpulan akhir atas adanya dugaan pelanggaran atau tidak atas UU No. 5 tahun 1999. Alat bukti tidak langsung tidak dapat digunakan sebagai alat bukti satu-satunya di dalam persidangan yang dilakukan oleh KPPU. Cara penggunaan Indirect evidence telah dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi yang diajukan oleh KPPU atas pembatalan oleh Pengadilan Negeri Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU sebagai alat bukti awal indikator terjadinya kartel yaitu dengan menggunakan metode analisis ekonomi. Analisis ekonomi dalam beberapa kasus digunakan sebagai alat bukti awal diketahui bahwa ada dugaan praktik kartel. Analisis ekonomi ini berupa analisis dengan menggunakan faktor struktural dan faktor perilaku.

Pendahuluan

Didunia terdapat tiga macam sistem ekonomi yang dianut oleh negaranegaradi belahan bumi ini. Sistem ekonomi liberal, sosialis dan campuran.Indonesia memilih sistem ekonomi campuran. Trend yang terjadi pada negara berkembang dan negara pecahan Uni Soviet adalah memperbaiki sistem perekonomian di negaranya. Kebijakan ekonomi baru ini memanfaatkan instrumen-instrumen pasar dan persaingan dalam membangun ekonomi bangsa.
Negara sebagai pembuat kebijakan mengarahkan masyarakat untuk menjalankan persaingan usaha yang sehat. Hal ini untuk mendapatkan persaingan yang sehat tanpa ada keberpihakan pada golongan tertentu. Pasar yang membentuk harga secara alamiah. Khusus bagi perekonomian Indonesia, campur tangan pemerintah dapat dilakukan. “Perekonomian Nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi”.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur mengenai berbagai larangan bagi tindakan yang menyebabkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dari kegiatan maupun perjanjian diatara para pelaku usaha salah satunya kartel. Menurut ketentuan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, perjanjian kartel dibuat oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian Kartel terjadi antara satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan diantara keduanya.
Proses Pembuktian dalam sebuah indikasi pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 yang dilakukan oleh KPPU adalah kebenaran materiil. Kebenaran materiil adalah kebenaran yang bersumber pada kaidah-kaidah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Hukum Perdata yang dicari adalah kebenaran formil. Pencarian kebenaran materiil untuk membuktikan bahwa adanya akibat dari persaingan usaha tidak sehat tersebut, diperlukan keyakinan KPPU bahwa pelaku usaha melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Keyakinan itu didapat dengan cara memastikan kebenaran atas laporan dan inisiatif KPPU atas dugaan terjadinya praktek kartel dengan cara melakukan penelitian, pengawasan, penyelidikan, dan pemeriksaan. Undang-Undang Nomor5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha TidakSehat dalam pasal 42 disebutkan ada lima alat bukti yang dapat digunakan bagiKomisi Pengawas Persaingan Usaha yaitu; keterangan saksi, keterangan ahli,surat dan atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha. Dalam KUHAPdan HIR alat bukti langsung tersebut diajukan masing-masing dalam pasal 184dan 164.
Terdapat beberapa permasalahan yang timbul dengan penggunaan Indirect Evidence dalam indikasi kartel. Dalam pedoman pasal 11 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan usaha disebutkan bahwa “KPPU harus berupaya memperoleh satu atau lebih alat bukti”.2 Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa satu alat bukti cukup untuk menindaklanjuti laporan ataupun dugaan adanya indikasi kartel. Hal ini bertentangan dengan Hukum acara pidana. Hukum pidana menyatakan “satu bukti bukan bukti” (unus testis nullus testis). Minimal alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu dua alat bukti. Ketidaksesuaian hukum pembuktian antara ketentuan pembuktian yang ada dalam hukum acara pidana dan hukum persaingan usaha yang kemudian menjadikan latar belakang penulisan skripsi. Hukum acara pidana menggunakan Direct Evidence sebagai bukti utama dalam hukum acara pidana, sedangkan Indirect Evidence yang menjadi dasar utama pembuktian di dalam hukum persaingan usaha. Penulis merasa tertarik meneliti permasalahan ini dalam suatu penelitian dengan judul “Penggunaan Indirect Evidence Oleh KPPU Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktek Kartel Di Indonesia”.
Ketidaksesuaian sistem pembuktian antara hukum acara pidana, hukumacara perdata dan hukum acara persaingan usaha ini yang kemudian menjadikanpenulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dan penulisan dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Indirect Evidence Oleh KPPU Dalam Proses Pembuktian Dugaan Praktek Kartel Di Indonesia”.

Pembahasan

1.) Penggunaan Indirect Evidence dalam proses pembuktian menurut sistem hukum pembuktian di Indonesia

Indonesia dalam sistem hukum pembuktian hukum acara pidana menganut sistem menurut undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori penggabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian conviction in time, artinya salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Terdapat beberapa macam jenis hukum acara di pengadilan secara umum yang ada di Indonesia untuk membuktikan suatu perkara di persidangan. Hukum acara yang dimaksud disini adalah Hukum acara Pidana, hukum acara perdata, hukum acara persaingan usaha. Hukum acara pidana secara khusus diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana, hukum acara perdata secara khusus diatur dalam Kitab Hukum acara perdata atau HIR dan Hukum acara Persaingan Usaha diatur dalam peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Perkom) Nomor 1 tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara.
Terdapat perbedaan-perbedaan antara penggunaan pembuktian menurut hukum acara persaingan usaha, hukum acara perdata, dan hukum acara pidana. Pembuktian adalah suatu tahapan di dalam hukum untuk meneliti kebenaran atas suatu perkara hukum. Fokus penulis dalam perbedaan ini terletak pada penggunaan alat bukti tidak langsung pada hukum persaingan usaha terhadap hukum acara perdata dan hukum acara pidana. Hukum acara pidana secara tegas mengatur dalam pasal 184 KUHAP “alat bukti yang sah, yaitu: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa”. Hukum pembuktian di dalam sistem hukum acara pidana tidak dikenal adanya alat bukti langsung dan tidak langsung.
Di sisi lain hukum acara perdata dalam pasal 164 HIR menyebutkan alat bukti yang sah, yaitu: bukti surat; bukti saksi; sangka; pengakuan; sumpah. Pengelompokkan bukti tidak langsung dan bukti langsung dijelaskan dalam buku M. Yahya Harahap sebagai berikut: “Disebut bukti langsung, karena diajukan secara fisik oleh pihak yang berkepentingan di depan persidangan”. “…..Pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi yang diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan”.3 Dilihat dari bentuk fisik tersebut maka yang menjadi alat bukti tidak langsung menurut hukum acara perdata yaitu persangkaan, pengakuan dan sumpah. Bentuk fisik ketiga alat bukti tidak langsung ini dapat dikatakan sebagai suatu kesimpulan dari hak atau peristiwa yang terjadi di persidangan.Secara umum istilah Indirect dan Direct Evidence tidak begitu akrab dalam lingkungan fakultas Hukum. Baik Kitab hukum acara pidana, Kitab hukum acara perdata tidak mencantumkan kedua istilah tersebut.
Penggunaan Indirect Evidence sebagai alat bukti permulaan pada praktiknya seringkali terjadi pembatalan pada putusan KPPU. Putusan KPPU secara praktek dapat dilakukan banding. Banding dapat dilakukan apabila  terdapat ketidakpuasan atas hasil putusan yang dijatuhkan oleh KPPU. Pengajuan keberatan ini boleh diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sesudah menerima pemberitahuan putusan tersebut. “Sebagai lembaga negara pembantuan yang sifatnya menjalankan fungsi pemerintahan yang lainnya, yaitu dalam bidang pengawasan persaingan usaha, Putusan KPPU dapat dilakukan banding ke Pengadilan Negeri”.5 Pengadilan Negeri dalam beberapa kasus membatalkan putusan KPPU atas dugaan pelanggaran UU No. 5 tahun 1999 baik perkara kartel maupun diluar perkara kartel.

2. Penggunaan Indirect Evidence oleh KPPU dalam membuktikan adanya dugaan kartel di Indonesia

*) Unsur Kartel

Kartel pada dasarnya adalah suatu perjanjian yang dilakukan pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya untuk meniadakan persaingan diantara mereka. Biasanya kartel dilakukan dengan cara mengatur produksi, distribusi dan harga. Kartel dalam pasal 11 Undangundang Nomor 5 tahun 1999 menetapkan, bahwa:
     
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan parapesainganya untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 11 UU No. 5 tahun 1999 dapat dijabarkan melalui unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur Pelaku Usaha
b. Unsur perjanjian
c. Unsur pelaku usaha pesaingnya
d. Unsur bermaksud mempengaruhi harga
e. Unsur mengatur produksi dan atau pemasaran
f. Unsur barang
g. Unsur jasa
h. Unsur dapat mengakibatkan praktek monopoli
i. Unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

Dilihat dari pasal 11 tersebut penggunaan kata “….dapat mengakibatkan….” KPPU menggunakan pendekatan Rule of Reason.
     
Rule of Reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan.6
     
Menurut hukum Persaingan Usaha, alat-alat bukti dalam proses investigasi dapat dibedakan menjadi dua. Pertama bukti langsung. Bukti langsung adalah “bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha…”.7 Kartel merupakan suatu kesepakatan atau perjanjian yang dilakukan oleh para pelaku usaha sejenis. Kesepakatan atau perjanjian ini dapat berupa kesepakatan tertulis atau tidak tertulis yang secara jelas menerangkan materi kesepakatan. Kedua, bukti tidak langsung. Menurut hasil wawancara dengan KPPU bukti tidak langsung diartikan sebagai berikut: Bukti tidak langsung adalah bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik, terang dan jelas mengenai materi kesepakatan antara pelaku usaha, yang termasuk kedalam bukti tidak langsung tersebut adalah bukti komunikasi dan bukti ekonomi termasuk di antaranya bukti tidak langsung dapat ditemukan di statistik harga pasar, hasil analisis harga pasar, dan lain-lain.

*) Indikator Awal Terjadinya Kartel

Komisi membuat indikator awal untuk mengidentifikasi kartel di dalam pedoman pasal 11 tentang kartel. Secara teori, ada beberapa faktor struktural maupun perilaku. Sebagian indikator awal dalam melakukan identifikasi eksistensi sebuah kartel pada sektor bisnis tertentu. Berikut merupakan cara bagi KPPU untuk melakukan upaya menemukan alat bukti dalam indikasi terjadinya kartel melalui metode analisis ekonomi: Beberapa diantaranya sebagai berikut:

*) Faktor struktural
    a) Tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan
    b) Ukuran perusahaan
    c) Homogenitas produk
    d) Kontak multi pasar
    e) Persediaan dan kapasitas produk
    f) Keterkaitan kepemilikan
    g) Kemudahan masuk pasar
    h) Karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan
    i) Kekuatan tawar pembeli (buyer power)
      
Kartel akan lebih mudah terjadi jika jumlah perusahaan yang tergabung tidak banyak. Oleh Karena akan lebih mudah untuk melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap para pelaku usaha yang tergabung dalam kesepakatan untuk melakukan kartel. Pendiri dan pelopornya adalah beberapa perusahaan yang mempunyai ukuran setara. Biasanya koordinasi kartel dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kuasa atas pasar yang dimainkan dalam kartel semisal dalam pasar kelompok minyak goreng. Pelaku-pelaku usaha dengan modal yang tinggi serta keunggulan atas penguasaan pasar menjadikan beberapa perusahaan yang memiliki banyak anak perusahaan yang juga bergerak dibidang yang sama memiliki kecendrungan untuk menguasai/mengendalikan pasar. Selain itu perusahaan yang memiliki modal tinggi dapat dengan mudah melakukan penguasaan pasar bersangkutan dikarenakan ketidakmampuan pesaing dalam bersaing di pasar bersangkutan.
Produk hasil dari para pelaku usaha sifatnya homogenitas/sejenis. Jikalau produk yang dimainkan adalah suatu produk yang memiliki karakteristik yang memiliki kecendrungan sama maka akan mudah melakukan kartel. Istilahnya produk yang dimainkan adalah sejenis. Pemasaran yang luas akan menyebabkan para pelaku usaha berkolaborasi walaupun tidak terdapat insentif atas perbuatan pelaku usaha tersebut. Kolaborasi ini dimungkinkan untuk menguasai pasar dan mengendalikannya demi keuntungan terbesar yang dapat diperoleh oleh pelaku usaha.
      
Pasokan barang yang beredar dipasaran overstock atau jumlah penawaran lebih tinggi dibandingkan permintaan menjadikan pelaku usaha mudah terperangkap untuk menyepakati harga atas barang tersebut. Tingginya tingkat persaingan menyebabkan masing-masing para pelaku usaha meningkatkan produktivitas baik produksinya distribusi maupun hasil akhir dari barang/jasa. Semua itu dilakukan untuk menarik konsumen untuk membeli barang/jasa dari pelaku usaha. Kondisi tersebut merupakan kondisi normal dalam sebuah persaingan. Namun kecurangan pelaku usaha oleh karena tingginya tingkat persaingan diantara mereka menjadikan pelaku usaha tidak ingin menerima kerugian dari kemungkinan kelebihan pasokan barang ataupun kesulitan mencari pembeli di dalam pasar. Hal-hal seperti ini yang menyebabkan para pelaku usaha secara sengaja maupun tidak sengaja melakukan kesepakatankesepakatan kartel.
      
Keterkaitan minoritas terlebih lagi mayoritas mendorong pelaku usaha untuk mengoptimalkan laba melalui keselarasan perilaku diantara perusahaan yang mereka kendalikan. Pelaku usaha minoritas sudah tentu mengikuti arah pasar oleh karena ketidakmampuan didalam bersaing dari para pelaku usaha mayoritas. Hal ini demi memaksimalkan keuntungan bagi para pelaku usaha. Selain itu inelastisnya permintaan dan kestabilan pertumbuhan memudahkan para pelaku usaha untuk melakukan kartel karena dapat dengan mudah diprediksikan tingkat produksi serta tingkat harga yang dapat mengoptimalkan keuntungan para pelaku usaha. Ketidakberpengaruhnya harga atas permintaan pasar menjadikan pelaku usaha juga dengan tenang melakukan perjanjian kartel. Pembeli akan tetap membeli/memakai produk walaupun dengan harga yang tinggi oleh karena kebutuhan dan tidak tersedianya barang substitusi atau pengganti atas barang/jasa yang dibutuhkan konsumen.
      
Indikator struktural terakhir dalam mendeteksi awal terjadinya kartel yaitu kekuatan tawar pembeli. Pembeli yang memiliki posisi tawar yang kuat akan mampu melemahkan sistem perkartelan karena pembeli akan mudah mencari penjual yang mau memasok dalam harga rendah sehingga kartel dengan sendirinya dapat bubar disebabkan ketidakpatuhan atas kesepakatan kartel dan ketidakefektifan aturan kartel diantara para pelaku usaha tersebut. Pelemahan kartel ini dapat terjadi oleh karena kuatnya pengaruh pembeli atas daya tawar suatu barang. Pelaku usaha akan lebih sulit melakukan koordinasi dan penyesuaian harga akan barang/jasa mereka. kesepakatan-kesepatan yang telah ada dapat dengan sendirinya menjadi tidak efektif.

*) Faktor Perilaku
    a) Transparansi dan pertukaran informasi
    b) Peraturan harga dan kontrak
       
Kartel dapat dideteksi dengan cara melihat perilaku dari para pelaku usaha yang saling memberikan informasi dan transparansi diantara mereka. Biasanya para pelaku usaha berusaha untuk menyimpan hal-hal yang menjadi rahasia keberhasilan perusahaan dalam mendapatkan pembeli/konsumen. Namun dalam kartel tidak diperlukan cara khusus untuk mendapatkan konsumen/pembeli. Oleh karena ketidakhadiran dari persaingan yang sesungguhnya diantara pelaku usaha menjadikan pelaku usaha merasa aman akan laba dari perusahaan. Peran asosiasi biasanya juga penting dalam hal pertukaran informasi. Asosiasi dapat digunakan sebagai media yang mengatasnamakan asosiasi namun didalamnya terdapat pertukaran informasi dan transparansi harga, jumlah produksi dan pemasaran. Tindakan yang menurut KPPU merupakan hal yang melanggar ketentuan dari UU No. 5 tahun 1999 dapat disamarkan oleh adanya pertemuan-pertemuan yang mengatasnamakan asosiasi dagang. Oleh karena itu, KPPU harus berhati-hati dalam menentukan apakah memang terjadi kesepakatan atau tidak. Pembuktian adanya kesepakatan harus meyakinkan Perilaku lainnya yaitu peraturan harga dan kontrak yang patut dicermati oleh KPPU sebagai bagian upaya identifikasi eksistensi kartel. Peraturan tentang harga dan kontrak bahwa benar adanya telah terjadi kesepakatan diantara pelaku usaha untuk melakukan penetapan harga atau perjanjian akan itu yang harus dilakukan penyelidikan dan pembuktian. Perjanjian dapat melalui alat bukti tertulis maupun tidak tertulis. Alat bukti tertulis ini berupa surat ataupun dokumen sedangkan perjanjian tidak tertulis ini dapat melalui bukti komunikasi, bukti adanya pertemuan-pertemuan.
      
Kesepakatan tersebut pada umumnya dilakukan secara tertutup atau diam-diam, sehingga seringkali KPPU menghadapi kesulitan dalam mengungkap dan membuktikan adanya kartel. Apalagi, “KPPU tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan atau penyitaan dokumen terkait kesepakatan tersebut”.11 Jadi kartel yang dilakukan secara diam-diam ini dapat diketahui dengan melakukan serangkaian kegiatan penelusuran secara metode analisis ekonomi. Variable-variabel, daftardaftar harga, kinerja perusahaan, laporan keuangan dan seluruh unsur kegiatan perusahaan akan ditelusuri oleh KPPU. Data-data perusahaan tersebut kemudian dianalisis apakah benar ada pelanggaran kartel maupun pelanggaran terhadap UU No. 5 tahun 1999. Jikalau telah terbukti atas hasil penyelidikan melalui analisis ekonomi ini KPPU berupaya untuk mendapatkan serangkaian alat bukti lainnya. Oleh karena alat bukti tidak langsung tidak dapat digunakan sebagai alat bukti satu-satunya. Perkembangan selanjutnya apabila tidak ditemukan alat bukti lain yang dapat menyatakan bahwa para pelaku usaha tersebut bersalah maka jikalau sudah pada tahap pemeriksaan lanjutan maka putusan KPPU akan memberikan putusan tidak bersalah seperti halnya putusan tentang perkara semen dengan putusan perkara nomor 1/KPPU-I/2010. Perkara Terkait dugaan adanya kartel dalam industri semen di Indonesia ternyata tidak terbukti. Dasar pertimbangan yang menyebabkan KPPU memutuskan bahwa tidak terjadinya dugaan praktek pelanggaran pasal 11 tentang kartel berdasarkan hal berikut:
i. Tidak terdapat dampak yang merugikan bagi negara dan
konsumen;
ii. Tidak terdapat perbedaan harga yang signifikan ditingkat pabrik
dan tingkat ritel;
iii. Tidak adanya bukti bahwa telah terjadi pengaturan pasokan.

Kartel menjadi sulit dideteksi karena pada faktanya perusahaan yang berkolusi berusaha menyembunyikan perjanjian diantara mereka dalam rangka menghindari hukum. Jarang sekali dan naïf tentunya apabila pelaku usaha secara terang-terangan membuat perjanjian diantara mereka, membuat dokumen hukum, mengabadikan pertemuan, serta mempublikasikan perjanjian untuk melakukan suatu pelanggaran hukum. Dari hasil analisis kepustakaan yang dilakukan oleh penulis terdapat pendekatan ekonomi sebelum memulai penyelidikan dan metode secara ekonomi yang digunakan KPPU untuk memeriksa kasus kartel.

*) Pemilihan pendekatan ekonomi untuk memulai penyelidikan
Penyelidikan ini memiliki beberapa metodologi pendeteksian
kartel sebagai berikut:
  1) Metodologi dengan seleksi random;
  2) Metodologi yang bergantung pada indikator individu;
  3) Metodologi yang otomatis (an automated methodology);
  4) Metodologi menitoring pasar secara permananen.\

*) Metode secara ekonomi

Terdapat dua metode secara ekonomi yang juga biasa ditemukan didalam literature, yaitu pendekatan top-down dan pendekatan bottom-up. Pendekatan top-down menyaring beberapa sektor untuk mengidentifikasi industri yang cenderung kolusi

Metode analisis ekonomi ini ada untuk menganalisis pembuktian kartel dengan menggunakan alat bukti tidak langsung atau indirect evidence. Penggunaannya dengan membuktikan adanya hubungan-hubungan antara fakta ekonomi satu dengan fakta ekonomi lainnya. Terlihatlah sebuah bukti kartel yang utuh sampai dengan jumlah kerugian yang diderita masyakat.
     
Kartel tidak hanya dapat merugikan konsumen secara materiil.Lebih jauh lagi akibat dari kartel dapat menyebabkan kondisi perekonomian negara yang bersangkutan tidak kondusif dan kurang kompetitif dibandingkan dengan negara-negara lain yang menerapkan sistem persaingan usaha yang sehat. Selain itu kartel dapat menyebabkan tidak bekerjanya sumber-sumber daya baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya secara efisien/berdaya
guna penuh.
     
Penjelasan mengenai bagaimana kartel dapat terjadi, dalam situasi apa dan akibat apa yang dapat ditimbulkan dari kartel dibawah ini penulis memberikan dua buah contoh putusan yang menggunakan bukti tidak langsung sebagai alat bukti tambahan penguat dari alat-alat bukti lainnya. Putusan dengan nomor 25/KPPU-I/2009 untuk perkara Penetapan Harga Fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestik Indonesia atau yang biasa dikenal dengan putusan Fuel Surcharge. Putusan nomor24/KPPU-I/2009 untuk putusan Industri minyak goreng sawit di Indonesia atau biasa dikenal dengan putusan minyak goreng.

#) Analisis putusan

1.) Putusan Perkara Nomor 25/KPPU-I/2009 Tentang Penerapan Harga Fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestikIndonesia
Dalam kasus ini yang digunakan KPPU sebagai alat bukti tidak langsung atau Indirect Evidence yaitu hasil analisis terhadap hasilpengolahan data yang mencerminkan terjadinya keuntungan yang banyak disertai ketidakwajaran. Oleh karena keuntungan tersebut ada bukan karena perusahaan melakukan efisiensi teknologi, sumberdaya maupun kinerja dari sistem diperusahaan maskapai penerbangan tersebut. Melainkan dari hasil analisis grafik, tabel uji korelasi dan uji varians menunjukkan adanya trend dan variasi yang mengarahkan pada suatu kesimpulan bahwa telah terjadi kesepakatan penetapan besaran harga fuel surcharge diantara para pelaku usaha maskapai penerbangan tersebut.
   
2.) Putusan perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 Tentang Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia
Pada putusan ini yang menjadi alat bukti tidak langsung yaitu Berikut adalah bukti tidak langsung yang menjadi alat buktiawal dilakukannya penelitian atas dugaan adanya kartel diantara pelaku usaha produsen minyak goreng curah dan kemasan yang ditemukan selama tahap pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan, yaitu sebagai berikut:

*) Bukti Komunikasi (communication evidence)
Pertemuan dan/atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para Terlapor pada tanggal 29 Februari 2008 dan tanggal 9 Februari 2009. Bahkan dalam dalam pertemuan dan/atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga,kapasitas produksi, dan struktur biaya produksi;
   
*) Bukti ekonomi (economic evidence);
Berikut bukti ekonomi yang terdapat pada putusan ini yaitu struktur pasar terkonsentrasi, Produk yang dihasilkan mempunyai karekteristik yang sama, price parallelism, market leader, permintaan berisfat inelastis,
tingkat kesulitan memasuki pasartinggi.
    
*) Facilitating practices
Fasilitas informasi yang dilakukan yaitu melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi.


Penutup

*) Kesimpulan

Kesimpulan dari skripsi diatas sebagai berikut:

1.) Hukum acara perdata maupun hukum acara pidana tidak mengenal pengelompokan istilah alat bukti langsung dan alat bukti tidak langsung. Alat bukti tidak langsung dan alat bukti langsung dikenal dalam hukum acara persaingan usaha. Menurut KPPU dalam hukum acaranya bahwa alat bukti tidak langsung dikelompokkan dalam alat bukti petunjuk. Selain itu, baik hukum acara pidana, hukum acara perdata maupun hukum persaingan usaha, ketiganya sama-sama mengatur minimal alat bukti yaitu 2 (dua alat bukti yang harus dihadirkan dalam persidangan. Penggunaan alat bukti tidak langsung berupa metode analsis ekonomi dan bukti komunikasi sebagai bukti pertama pada tahap pemeriksaan pendahuluan oleh KPPU. Selanjutnya untuk masuk pada tahap pemeriksaan lanjutan hingga putusan tetap diperlukan alat bukti lainnya berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan atau dokumen dan keterangan pelaku usaha.
      
2.) Kartel adalah suatu bentuk perjanjian yang dibuat oleh dua atau lebih pelaku usaha sejenis, dengan maksud untuk mengendalikan produksi, harga dan wilayah pemasaran. Kartel dalam pasal 11 Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan tidak sehat masuk kedalam Rule of Reason. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kartel berdampak secara khusus kepada konsumen sebagai penderita kerugian secara langsung dan negara sebagai penderita kerugian secara tidak langsung dan global. Bukti tidak langsung dapat digunakan analisis melalui beberapa cara. Diatur dalam Perkom No. 4 tahun 2010 dan salah satu jurnal dari Komisi Pengawas Persaingan usaha yang ditulis oleh Riris Munadiya dalam jurnal berjudul Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penanganan Kasus Persaingan Usaha. Menurut pengaturan dalam Peraturan Komisi No 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 UU No.5 tahun 1999 tentang bukti tidak langsung, yang dapat digunakan sebagai alat bukti tidak langsung yaitu melalui analisis ekonomi melalui faktor struktural dan faktor perilaku. Faktor struktural mencangkup tingkat konsentrsi dan jumlah perusahaan; ukuran perusahaan; homogenitas produk; kontak multi pasar; persediaan dan kapasitas produksi; keterkaitan kepemilikan; kemudahaan masuk pasar; karakter permintaan: keteraturan, elastisitas dan perubahan; kekuatan tawar pembeli. Sedangkan untuk faktor perilaku berdasarkan transparansi dan pertukaran informasi, dan peraturan harga dan kontrak. Menurut Riris Munadiya dalam jurnal berjudul Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dalam Penanganan Kasus Persaingan Usaha. dikatakan bahwa alat bukti tidak langsung selain dengan penggunaan melalui analisis faktor structural dan faktor perilaku dilakukan dengan cara pendekatan ekonomi, dan metode secara ekonomi. Penggunaan alat bukti dengan metode analisis ekonomi ini telah dilakukan dalam contoh putusan No. 24/KPPU-I/2009 tentang Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia dan putusan No.25/KPPU-I/2009 tentang Penetapan Harga fuel Surcharge dalam industri jasa penerbangan domestic Indonesia.

*) Saran
    
Penulis memberikan beberapa saran untuk perbaikan pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia:
1.) Pertentangan penggunaan Indirect Evidence masih hadir di kalangan akademisi baik dosen dan mahasiswa. Sebaiknya KPPU lebih menggiatkan sosialisasi tentang Indirect Evidence dan tata cara dan tahapan penggunaannya pada sistem pembuktian di KPPU dan kaitannya dengan sistem pembuktian di Indonesia.
2.) Masih diperlukan sosialisasi terkait Tata Cara Penanganan Perkara yaitu Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 1 tahun 2010 tetantang tata Cara Penanganan Perkara jo. Perkom No. 1 tahun 2006.

3.) Masih diperlukan pengaturan mengenai tata cara penanganan perkara yang lebih mendetail supaya jelas terlihat tahapan penggunaan indirect evidence oleh KPPU.


Daftar Pustaka

Greenspan, Alan, Abad Prahara (Ramalan Kehancuran Ekonomi Dunia abadke-21), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, Hal 252.

M, Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Buku Ajar KPPU, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (online),2009, Hlm, 55, http://www,kppu,go,id/id/publikasi/buku_ajar/ (11 Maret 2012).



Makalah Dalam Seminar
Sukarmi, Kurikulum dan Buku Ajar Hukum Persaingan Usaha, Makalah disajikan dalam Seminar nasional bagi Dosen PTN dan PTS serta mahasiswa di Malang, Komisi Pengawas Persaingan Usaha Jakarta, Hotel Tugu Malang, 20 Desember 2012.

Jurnal
Anna Maria Tri Anggraini, Program Liniency dalam Mengungkap Kartel Menurut Hukum Persaingan Usaha, Hal 114-116, (online), Jurnal Persaingan Usaha, Edisi 6, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jakarta,2011, http://www,kppu,go,id/id/wp-content/uploads/2012/06/Juurnal-6-
2011,pdf (19 September 2012).
     
Riris Munadiyah (ed), Bukti tidak langsung (indirect evidence) dalam penanganan kasus persaingan usaha, Edisi 5 , 2011, Hal 169, http://www,kppu,go,id/docs/jurnal/JURNAL_5_2011_ok,pdf (19 September 2012).

Penyelesaian Sengketa Ekonomi


Pengertian Sengketa

Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.


Cara - Cara Penyelesian Sengketa

Penyelesaian sengketa secara damai bertujuan untuk mencegah dan mengindarkan kekerasan atau peperangan dalam suatu persengketaan antar negara. Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan) Piagam PBB penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui cara-cara sebagai berikut:

1.) Negoisasi
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
2.) Enquiry
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3.) Good Offices
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.


Negoisasi

Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak - pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Menurut kamus Oxford, negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal. Negosiasi merupakan suatu proses saat dua pihak mencapai perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerjasama dan kompetisi. Termasuk di dalamnya, tindakan yang dilakukan ketika berkomunikasi, kerjasama atau memengaruhi orang lain dengan tujuan tertentu.


Mediasi

Mediasi adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak. Mediasi disebut emergent mediation apabila mediatornya merupakan anggota dari sistem sosial pihak-pihak yang bertikai, memiliki hubungan lama dengan pihak-pihak yang bertikai, berkepentingan dengan hasil perundingan, atau ingin memberikan kesan yang baik misalnya sebagai teman yang solider.


Arbitase

"Arbitrase" (bahasa Inggris:arbitrage), yang dalam dunia ekonomi dan keuangan adalah praktik untuk memperoleh keuntungan dari perbedaan harga yang terjadi di antara dua pasar keuangan. Arbitrase ini merupakan suatu kombinasi penyesuaian transaksi atas dua pasar keuangan di mana keuntungan yang diperoleh adalah berasal dari selisih antara harga pasar yang satu dengan yang lainnya.


Referensi

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/04/pengertian-sengketa-ekonomi/
http://id.wikipedia.org

Anti Monopoli & Persaingan Tidak Sehat


Pengertian

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ). Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.


Azas dan Tujuan

Dalam melakukan kegiatan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :

1.) Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2.) Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
3.) Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
4.) Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.


Kegiatan Yang Dilarang

*) Bagian Pertama Monopoli 
Pasal 17 (1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:

1.) Barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
2.) Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
3.) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

*) Bagian Kedua Monopsoni 
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

*) Bagian Ketiga Penguasaan Pasar 
Pasal 19 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

1.) Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
2.) Atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

*) Bagian Keempat Persekongkolan 
1.) Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
2.) Pasal 23 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
3.) Pasal 24 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.


Perjanjian Yang Dilarang

*) Pasar Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

*) Penetapan Harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
1.) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
2.) Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
3.) Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
4.) Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

*) Pembagian Wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

*) Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

*) Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

*) Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

*) Oligosoponi
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

*) Integrasi Vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

*) Perjanjian Tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

*) Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.


Hal - Hal Yang Dikecualikan UU Anti Monopoli

Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :

*) Perjanjian-Perjanjian Tertentu yang Berdampak Tidak Baik Untuk Persaingan Pasar
1.) Oligopoli
2.) Penetapan harga
3.) Pembagian wilayah
4.) Pemboikotan
5.) Kartel
6.) Trust
7.) Oligopsoni
8.) Integrasi vertikal
9.) Perjanjian tertutup
10.) Perjanjian dengan pihak luar negeri

*) Kegiatan-Kegiatan Tertentu yang Berdampak Tidak Baik Untuk Persaingan Pasar
1.) Monopoli
2.) Monopsoni
3.) Penguasaan pasar
4.) Persekongkolan

*) Posisi Dominan
1.) Pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing
2.) Pembatasan pasar dan pengembangan teknologi
3.) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
4.) Jabatan rangkap
5.) Pemilikan saham
6.) Merger, akuisisi, konsolidasi


Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.


Sanksi

*) Pasal 36 UU Anti Monopoli 
Salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

*) Pasal 48
1.) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
2.) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
3.) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

*) Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

1.) Pencabutan izin usaha; atau
2.) Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3.) Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyjavascript:void(0)ebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.

Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana


Referensi

http://eghasyamgrint.wordpress.com/2011/05/29/pengertian-persaingan-usaha-tidak-sehat/
http://fikaamalia.wordpress.com
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/kegiatan-dan-perjanjian-yg-dilarang-anti-monopoli/
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/02/anti-monopoli-dan-persaingan-usaha-tidak-sehat/

Perlindungan Konsumen


Pengertian Konsumen

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.bJika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor.


Azas dan Tujuan

Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

1.) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2.) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3.) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4.) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
5.) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6.) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

*) Asas Manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

*) Asas Keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.

*) Asas Keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

*) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

*) Asas Kepastian Hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum


Hak dan Kewajiban Konsumen

*) Hak Konsumen

1.) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Tujuan utama konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa adalah memperoleh manfaat dari barang/jasa yang dikonsumsinya tersebut. Perolehan manfaat tersebut tidak boleh mengancam keselamatan, jiwa dan harta benda konsumen, serta harus menjamin kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Tentu saja konsumen tidak mau mengkonsumsi barang/jasa yang dapat mengancam keselamatan, jiwa dan hartanya. Untuk itu konsumen harus diberi bebas dalam memilih barang/jasa yang akan dikonsumsinya. Kebebasan memilih ini berarti tidak ada unsur paksaan atau tipu daya dari pelaku usaha agar konsumen memilih barang/jasanya.
3.) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sebelum memilih, konsumen tentu harus memperoleh informasi yang benar mengenai barang/jasa yang akan dikonsumsinya. Karena informasi inilah yang akan menjadi landasan bagi konsumen dalam memilih. Untuk itu sangat diharapkan agar pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai barang/jasanya.
4.) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Tidak jarang konsumen memperoleh kerugian dalam mengkonsumsi suatu barang/jasa. Ini berarti ada suatu kelemahan di barang/jasa yang diproduksi/disediakan oleh pelaku usaha. Sangat diharapkan agar pelaku usaha berlapang dada dalam menerima setiap pendapat dan keluhan dari konsumen. Di sisi yang lain pelaku usaha juga diuntungkan karena dengan adanya berbagai pendapat dan keluhan, pelaku usaha memperoleh masukan untuk meningkatkan daya saingnya. www.tunardy.com 

*) Kewajiban Konsumen

1.) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

 *) Hak Pelaku Usaha

1.) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikat tidak baik;
3.) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaiakan hukum sengketa konsumen;
4.) Hak untuk rehabilitasi nama baik apbila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

*) Kewajiban Pelaku Usaha

1.) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
4.) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian  dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.


Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha

Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:

1.) Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2.) Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3.) Larangan bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
.

Klausula Baku dalam Perjanjian

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula Baku aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.

Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang bagi pelaku usaha, apabila dalam pencantumannya mengadung unsur-unsur atau pernyataan sebagai berikut :

1.) Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha kepada konsumen;
2.) Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
3.) Pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4.) Pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran;
5.) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen;
6.) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7.) Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8.) Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;


Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.

Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila :

1.) Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan ;
2.) Cacat barabg timbul pada kemudian hari;
3.) Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
4.) Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen ;
5.) Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan.  


Sanksi

*) Sanksi Pidana

#) Kurungan

1.) Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
2.) Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f

#) Ketentuan Pidana Lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) 
Jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
#) Hukuman Tambahan
1.) Pengumuman keputusan Hakim
2.) Pencabuttan izin usaha;
3.) Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
4.) Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
5.) Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat


Referensi

http://syafiqri.blogspot.com/2011/05/sanksi-pelaku-usaha-perlindungan.html
http://pipp.rembangkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=63:perlindungan-konsumen&catid=3:newsflash
http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen